Senin, 27 April 2009

Pegadaian Syariah

Ada 3 bentuk gadai syariah yaitu gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, Al Mudharabah, dan Bai' Al Muqoyyadah:

a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan.

Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka usaha. Pengusaha lama pun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan adalah perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu sama lain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.

b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Mudharabah.

Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha. Kedua pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu dari usaha yang dijalankan. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.

c. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Bai' Al Muqoyyadah

    Perjanjian ini dapat dilakukan jika pihak peminjam menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Dengan demikian orang yang memberikan pinjaman akan membeli barang yang sesuai dengan keinginan peminjam atau peminjam akan memberikan mark-up kepada orang yang memberikan pinjaman sesuai dengan kesepakatan pada saat perjanjian berlangsung sampai batas waktu yang ditentukan.


 

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:

  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  2. Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.


 


 

Perbedaan dengan pegadaian konvensional:

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :

  1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
  2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.


 


 


 


 


 

3.1.2 Lembaga Gadai Syariah untuk Hubungan Antara Pribadi dengan Perusahaan (bank syariah)

Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll. Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lembaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai tiga bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, Al Mudharabah, dan Bai' Al Muqoyyadah. Operasionalisasi ketiga bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun menurut berita dalam praktek banyak bank – bank terutama yang berkantor diwilayah kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam bentuk perhiasan.

Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata – mata untuk membantu masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah, perusahaan bisa saja mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Karena gadai dalam hukum Islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah ada hanya dimungkinkan apabila ada kemauan yang kuat dari pimpinan dan seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank yang memungut bunga, dan obligasi yang dijual kepada masyarakat pun tidak dengan sistem bunga tetapi dengan sistem bagi hasil.

Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.


 

a. Aspek Legalitas

Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang unutk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan, yaitu :

(1). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang sesuai dengan prinsip syariat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman. Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan, umat Islam mempunyai pilihan kedua;

(2). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata "riba" pada pasal 5 ayat (2)b, dan kata-kata "badan usaha tunggal" pada pasal 3 ayat (1)a. Dengan usul yang kedua ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan yag dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima pilihan pertama, karena akan lebih mudah bagi umat Islam untuk mewujudkan keinginannya. Penyesuaian untuk betul-betul menjadikan Perum Pegadaian perusahaan gadai yang sesuai dengan misinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk operasional barangkali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan luar negeri. Pinjaman obligasi dari masyarakat juga bisa dibuatkan model yang sesuai dengan prinsip syariat Islam.

Namun andai kata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli Perum Pegadaian karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai syariah yang diharapkan dapat diberi izin berdiri tentunya adalah perusahaan yang persyaratan modalnya cukup besar. Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru boleh membuka cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari instansi yang berwenang. Masyarakat tentunya tidak menghendaki terlalu banyaknya perusahaan gadai kecil, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena dalam ketentuan syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui sistem bagi hasil mudharabah, bentuk yang paling cocok untuk suatu perusahaan gadai syariah adalah Perseroan Terbatas.


 


 

b. Aspek Permodalan

Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.

Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada kemungkinan pemegang saham perusahaan gadai syariah melebihi jumlah minimum sehingga perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik.


 

c. Aspek Sumber Daya Manusia

Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta oleh pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah pinjaman tidaklah mudah. Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat mejadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat.

Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai. Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan ketrampilannya. Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penaksir barang, pada perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis kelayakan usaha yang andal untuk menilai usaha yang diajukan pada perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk mudharabah. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan gadai syariah untuk memperoleh bagihasil yang memadai. Untuk juru taksir, pada tahap awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum Pegadaian. Kemudian unutk para analis kelayakan usaha diperlukan tenaga-tenaga sarjana yang berpengalaman minimal 2 tahun. Calon-calon manajerpun perlu dipersiapkan untuk pimpinan pusat maupun cabang.


 

d. Aspek Kelembagaan

Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak meyimpang dari prinsip syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba. Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang tidak dilarang dalam agama Islam. Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan adanya suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut Dewan Pengawas Syariah yang selalu memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat setempat.


 

e. Aspek Sistem dan Prosedur

Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi harus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh karena itu sistem dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meyulitkan calon nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-qardhul hassan maupun hutang-piutang gadai dalam bentuk almudharabah. Loket-loket dipisahkan antara yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-qardhul hassan dan yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah, namun harus dibuat fleksibel sedemikian rupa sehingga terhindar adanya antrian panjang. Biasanya mereka yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah adalah peminjam dalam jumlah besar.


 


 


 

f. Aspek Pengawasan

Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan yang disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah merupakan pelaksana amanah. Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Yang termasuk dalam organ pengawasan adalah Dewan Pengawasan Syariah yang terdiri dari para ulama yang cukup dikenal masyarakat.


 

3.2 Prospek Pegadaian Syariah

Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi (minimum dua kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan aman.

Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya (Oportunity), dan ancamannya (Threat) , sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.

(1). Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.

Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.

(2). Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.

Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menteri-Menteri Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di negara-negara anggotanya. Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk menjajaki kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

  1. Penyediaan pinjaman murah bebas bunga (al-qardhul hassan) adalah jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat bunga.
  2. Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan / kerugian secara adil.
  3. Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagi hasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagi hasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagi hasil besar kalau hasil usahanya besar.
  4. Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
  5. Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.

Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.

b. Kelemahan (weakness) dari sistem gadai syariah.

  1. Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagihasil akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya. Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.
  2. Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya dan bagian laba. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar.
  3. Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagihasil mungkin akan membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga.
  4. Karena pegadaian syariah belum banyak dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku, termasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama. Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.


     

c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah

Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari berbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluang dibawah ini :

(1). Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama

Merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islam jelas -jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.

Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.

Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam, yaitu antara lain :

  • Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan.
  • Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda.
  • Memperdagangkan / menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba.
  • Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed).

Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam di ataslah yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.

(2). Adanya peluang ekonomi dari berkembangnya pegadaian syariah

Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut diharapkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.

Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.


 

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.


 

d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah

Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas -jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah. Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam melalui sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan dengan sistem internasional yang berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya pegadaian syariah. Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka diharapkan para cendekiawan dapat berjaga -jaga dan mengupayakan penangkalnya.

Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem pegadaian syariah dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat diatasi.


 

3.3 Teknik Transaksi

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:

  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  2. Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :

a.    Orang yang berakad :

    1) Yang berhutang (rahin) dan

    2) Yang berpiutang (murtahin).

    Rahin dan Murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut: memiliki kemampuan, yaitu berakal sehat, kemampuan juga berarti kelayakan seseorang melakukan transaksi pemilikan. Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam.

b.     Sighat (ijab qabul)

- Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan. Sighat dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

     - Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.

c.     Harta yang dirahnkan (marhun)

    - Harus diperjualbelikan.

    - Harus berupa harta yang bernilai.

    - Harus bisa dimanfaatkan secara syariah.

    - Harus diketahui keadaan fisiknya.

    - Harus dimiliki rahin.

    Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).

d.     Pinjaman (marhun bih)

- Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya.

    - Memungkinkan pemanfaatan.

    - Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.

- Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.


 

Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan sebagai berikut:

1. Barang yang tidak bisa dijual tidak boleh digadaikan.

2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (gasab) atau barang pinjaman dan

semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.

3. Gadai tidak sah apabila hutangnya belum pasti.

4. Hutang piutang dalam gadai harus diketahui oleh kedua pihak.

5. Barang harus diterima pegadaian.

6. Jika barang belum diterima, akad gadai boleh dibatalkan.

7. Jika barang sudah diterima, akad gadai tidak boleh dibatalkan.

8. Pembatalan dapat dilakukan dengan ucapan maupun tindakan.

9. Barang gadaian adalah amanah di tangan penerima gadai.

10. Jika barang gadaian musnah tanpa kesengajaan maka pegadaian tidak wajib

menggantinya. Tetapi jika ada unsur kesengajaan dari pegadaian, maka

pegadaian wajib menggantinya.

Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing – masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, Anda akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah).
Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijaroh) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 

  1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan, barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
  2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
  3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
  4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
  5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :

  1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
  2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
  3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.


 


 

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :

  • melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
  • mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
  • atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.


 

Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan, murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris, tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah ahli waris melunasi hutang almarhum pemilik barang.


 

3.4 Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :

  1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
  2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

3.5 Program Pegadaian Syariah

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengelurkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadai syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income(FBI).

Sebagai salah satu inovasi , produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah Program Kredit Tunda Jual Komoditas pertanian yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada saat penen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian meluncurkan gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijualnya ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sama ketika menggadaikan gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen perbulan. Jika selama batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka petani akan dikenakan proses handling yang besarnya Rp10 per kg.
Selain itu Pegadaian juga membuat program Kredit Angsuran Fidusia (KREASI) dan Kredit Angsuran Gadai (KRASIDA). Produk-produk Pegadaian sudah semakin beragam dengan dikeluarkannya dua produk dengan mekanisme penyaluran Kredit Usaha Mikro dan kecil menggunakan sistem kredit, kedua produk tersebut adalah Kredit Angsuran Fidusia (KREASI) dan Kredit Angsuran Gadai (KRASIDA). KREASI adalah pemberian pinjaman uang yang ditujukan kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Fidusia. Kredit atas dasar fidusia merupakan pengikatan jaminan dengan lembaga pengikatan jaminan yang sempurna dan memberikan hak yang referent kepada kreditor, dalam hal ini adalah lembaga jaminan atau fidusia. Kredit dengan fitur fidusia, bagi kreditur dan debitur merupakan jaminan yang "ideal". Bagi kreditur uang yang dilepaskan tetap terjamin. Sedangkan bagi debitur prosedur mendapatkan uang lebih mudah dan yang paling penting lagi adalah barang jaminan tetap dapat digunakan untuk menjalankansegalaaktivitas.

KRASIDA adalah pemberian pinjaman uang kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Gadai.

Faktor pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman tetap dilihat dari analisa cashflow-nya. Maksimum pinjaman untuk setiap nasabah (meski memiliki beberapa unit usaha) adalah Rp 50 juta untuk usaha mikro dan Rp 250 juta untuk usaha skala kecil. Kredit Serba Guna (KRESNA).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar