Senin, 27 April 2009

Pegadaian Syariah

Ada 3 bentuk gadai syariah yaitu gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, Al Mudharabah, dan Bai' Al Muqoyyadah:

a. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan.

Apabila pilihan seorang peminjam adalah pinjaman gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, maka biasanya peminjam adalah pengusaha pemula yang baru mencoba membuka usaha. Pengusaha lama pun bisa memilih pinjaman gadai dalam bentuk qardhul hassan apabila usahanya sedang lesu dan ingin dibangkitkan lagi. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan adalah perjanjian yang terhormat, oleh karena itu para pihak yang terlibat harus memperlakukan satu sama lain secara terhormat pula. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris. Selain itu untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) di bank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya dilarang dikenakan.

b. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Mudharabah.

Seorang peminjam dan pemberi pinjaman dapat memilih pinjaman gadai dalam bentuk mudharabah, apabila kedua belah pihak telah menghitung bahwa usaha yang akan dijalankan layak dan secara ekonomis akan menguntungkan. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk mudharabah adalah perjanjian yang mempertemukan antara pengusaha yang ahli dalam bidangnya tetapi hanya mempunyai harta tidak lancar dengan pihak lain yang mempunyai cukup dana tetapi tidak mempunyai bidang usaha. Kedua pihak kemudian sepakat untuk pihak peminjam menjalankan usaha sedang pihak pemberi pinjaman hanya memberikan dana yang diperlukan tanpa campur tangan dalam usaha itu dengan agunan barang gadai. Keduanya juga sepakat pada suatu porsi bagi hasil tertentu dari usaha yang dijalankan. Pada saat jatuh tempo semua hak dan kewajiban diselesaikan dan apabila terjadi peminjam tidak mampu melunasi hutangnya perjanjian yang lama dapat diperbaharui tanpa harus mengembalikan seluruh barang gadaiannya. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan melalui arbitrasi atau pengadilan.

Biaya yang harus ditanggung peminjam selain meliputi biaya – biaya yang nyata – nyata diperlukan untuk sahnya perjanjian hutang piutang, seperti : bea materai, dan biaya akte notaris, juga biaya – biaya usaha untuk keutuhan dan pengamanan barang gadai mungkin ada biaya pemeliharaan dan sewa tempat penyimpanan harta (save deposit box) dibank atau ditempat lainnya. Biaya bunga uang apapun namanya juga dilarang dikenakan.

c. Perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Bai' Al Muqoyyadah

    Perjanjian ini dapat dilakukan jika pihak peminjam menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Dengan demikian orang yang memberikan pinjaman akan membeli barang yang sesuai dengan keinginan peminjam atau peminjam akan memberikan mark-up kepada orang yang memberikan pinjaman sesuai dengan kesepakatan pada saat perjanjian berlangsung sampai batas waktu yang ditentukan.


 

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:

  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  2. Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.


 


 

Perbedaan dengan pegadaian konvensional:

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :

  1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
  2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.


 


 


 


 


 

3.1.2 Lembaga Gadai Syariah untuk Hubungan Antara Pribadi dengan Perusahaan (bank syariah)

Lembaga gadai syariah untuk hubungan antara pribadi dengan perusahaan (bank syariah) khususnya gadai fidusia sebenarnya juga sudah operasional. Contoh yang dapat dikemukakan disini ialah bank syariah yang memberikan pinjaman dengan agunan sertifikat tanah, sertifikat saham, sertifikat deposito, atau Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dll. Sebagaimana halnya dengan lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi, lembaga syariah untuk hubungan antara pribadi dengan bank syariah juga mempunyai tiga bentuk, yaitu perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk Al Qardhul Hassan, Al Mudharabah, dan Bai' Al Muqoyyadah. Operasionalisasi ketiga bentuk tersebut sama dengan operasionalisasi lembaga gadai syariah pada hubungan antar pribadi tersebut diatas.

Dari uraian tersebut diatas dapat dipahami bahwa lembaga gadai syariah pada perbankan syariah adalah hal yang lazim ada. Karena adanya hambatan hukum positif yang kita warisi dari pemerintahan kolonial, menyebabkan bank sekarang ini tidak diperkenankan menerima agunan dan menyimpan gadai barang bergerak. Namun menurut berita dalam praktek banyak bank – bank terutama yang berkantor diwilayah kecamatan yang melakukan praktek menerima gadai barang bergerak terutama dalam bentuk perhiasan.

Pemisahan jenis barang gadai inilah yang menyebabkan adanya jawatan yang khusus didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan pinjaman gadai barang bergerak. Tujuan semula dari jawatan ini adalah semata – mata untuk membantu masyarakat yang membutuhkan kredit kecil. Modal jawatan untuk operasional dan pengembangan semula dipasok dari anggaran negara sehingga misi utamanya adalah sosial. Tujuan mencari untung tidak ditonjolkan dan jawatan dinilai cukup baik apabila hasil usahanya dapat menutup biaya (breakeven). Dengan misi sosial yang sesuai dengan misi al-qardhul hassan pada gadai syariah, maka perlu dicari dan dipertahankan bentuk badan usaha yang cocok. Sesuai dengan panduan syariah, perusahaan bisa saja mendapatkan keuntungan yang besar tetapi hanya mungkin apabila dana yang tersedia disalurkan dalam perjanjian hutang piutang dengan gadai dalam bentuk al-mudharabah.

Karena gadai dalam hukum Islam adalah merupakan pelengkap dari hubungan hutang-piutang, maka operasionalisasi gadai syariah pada perusahaan bank syariah sudah berjalan walaupun perlu penyempurnaan. Sedang pada perusahaan pegadaian yang sudah ada hanya dimungkinkan apabila ada kemauan yang kuat dari pimpinan dan seluruh jajarannya untuk menerapkan perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk alqardhul hassan dan al-mudharabah. Sumber-sumber modal tentu tidak lagi dicari dari bank yang memungut bunga, dan obligasi yang dijual kepada masyarakat pun tidak dengan sistem bunga tetapi dengan sistem bagi hasil.

Adanya keinginan masyarakat untuk berdirinya lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan mungkin karena umat Islam menghendaki adanya lembaga gadai perusahaan yang benar-benar menerapkan prinsip syariat Islam. Untuk mengakomodir keinginan ini perlu dikaji berbagai aspek penting, antara lain : aspek legalitas, aspek permodalan, aspek sumber daya manusia, aspek kelembagaan, aspek sistem dan prosedur, aspek pengawasan, dan lain-lain.


 

a. Aspek Legalitas

Mendirikan lembaga gadai syariah dalam bentuk perusahaan memerlukan izin Pemerintah. Namun sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1990 tentang pengalihan bentuk Perusahaan Jawatan Pegadaian (PERJAN) menjadi Peusahaan Umum (PERUM) Pegadaian, pasal 3 ayat (1)a menyebutkan bahwa Perum Pegadaian adalah badan usaha tunggal yang diberi wewenang unutk menyalurkan uang pinjaman atas dasar hukum gadai. Kemudian misi dari Perum Pegadaian dapat diperiksa antara lain pada pasal 5 ayat (2)b, yaitu pencegahan praktek ijon, riba, dan pinjaman tidak wajar lainnya. Dari misi Perum Pegadaian tersebut, umat Islam mempunyai dua pilihan, yaitu :

(1). Membantu Perum Pegadaian menerapkan konsep operasional lembaga gadai yang sesuai dengan prinsip syariat Islam yang tidak menerapkan sistem bunga atau yang serupa dengan itu baik dalam mencari modal maupun dalam menyalurkan pinjaman. Apabila sumbangan pemikiran umat Islam ini sulit dilaksanakan, umat Islam mempunyai pilihan kedua;

(2). Membantu Perum Pegadaian menghilangkan beban moral dengan mengusulkan perubahan PP no. 10 tahun 1990 yaitu menghapus kata "riba" pada pasal 5 ayat (2)b, dan kata-kata "badan usaha tunggal" pada pasal 3 ayat (1)a. Dengan usul yang kedua ini maka umat Islam mempunyai peluang untuk berdirinya suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan yag dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Sebenarnya akan lebih baik apabila Perum Pegadaian dapat menerima pilihan pertama, karena akan lebih mudah bagi umat Islam untuk mewujudkan keinginannya. Penyesuaian untuk betul-betul menjadikan Perum Pegadaian perusahaan gadai yang sesuai dengan misinya sebenarnya tidak terlalu sulit. Kebutuhan tambahan modal untuk operasional barangkali bisa dipasok dari bank syariah yang sudah ada baik dalam dan luar negeri. Pinjaman obligasi dari masyarakat juga bisa dibuatkan model yang sesuai dengan prinsip syariat Islam.

Namun andai kata Pemerintah dapat melepaskan status monopoli Perum Pegadaian karena telah berubah misinya, maka perusahaan gadai syariah yang diharapkan dapat diberi izin berdiri tentunya adalah perusahaan yang persyaratan modalnya cukup besar. Kantor pusatnya hanya boleh didirikan di ibu kota Propinsi dan baru boleh membuka cabang apabila telah mendapat penilaian sehat dari instansi yang berwenang. Masyarakat tentunya tidak menghendaki terlalu banyaknya perusahaan gadai kecil, karena perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat banyak yang perlu mendapat perlindungan dan pembinaan pemerintah. Karena dalam ketentuan syariah tidak dilarang mencari keuntungan melalui sistem bagi hasil mudharabah, bentuk yang paling cocok untuk suatu perusahaan gadai syariah adalah Perseroan Terbatas.


 


 

b. Aspek Permodalan

Apabila umat Islam memilih mendirikan suatu lembaga gadai dalam bentuk perusahaan yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, aspek penting lainnya yang perlu dipikirkan adalah permodalan. Modal untuk menjalankan perusahaan gadai cukup besar karena selain diperlukan dana untuk dipinjamkan kepada nasabah juga diperlukan investasi untuk tempat penyimpanan barang gadaian.

Dengan asumsi bentuk perusahaan gadai syariah yang dikehendaki adalah perseroan terbatas, maka perlu diupayakan saham yang dijual kepada masyarakat dalam pecahan yang terjangkau lapisan masyarakat sehingga saham dapat dimiliki secara luas. Ada kemungkinan pemegang saham perusahaan gadai syariah melebihi jumlah minimum sehingga perlu didaftarkan kepada BAPEPAM sebagai perusahaan publik.


 

c. Aspek Sumber Daya Manusia

Suatu perusahaan gadai hanya akan mampu bertahan dan berjalan dengan mantap apabila nilai barang yang dijadikan agunan cukup untuk menutup hutang yang diminta oleh pemilik barang. Untuk menilai suatu barang gadaian apakah dapat menutup jumlah pinjaman tidaklah mudah. Apalagi jenis barang yang mungkin dijadikan agunan gadai sangat beraneka ragam. Belum lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat mejadikan suatu barang lebih cepat ketinggalan jaman. Untuk dapat sedikit meyakini nilai suatu barang gadaian diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan naluri yang kuat.

Dengan kualitas sumber daya manusia yang menangani penaksiran barang gadaian sangat menentukan keberhasilan suatu perusahaan gadai. Penaksir gadaian adalah ujung tombak operasional perusahaan gadai, oleh karena itu mereka perlu di didik, dilatih, dan digembleng pengetahuan dan ketrampilannya. Diperlukan waktu yang cukup untuk melatih mereka. Selain penaksir barang, pada perusahaan gadai syariah diperlukan juga analis kelayakan usaha yang andal untuk menilai usaha yang diajukan pada perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk mudharabah. Analis kelayakan usaha yang andal adalah tumpuan harapan bagi perusahaan gadai syariah untuk memperoleh bagihasil yang memadai. Untuk juru taksir, pada tahap awal barangkali perlu dipekerjakan kembali para pensiunan penaksir Perum Pegadaian. Kemudian unutk para analis kelayakan usaha diperlukan tenaga-tenaga sarjana yang berpengalaman minimal 2 tahun. Calon-calon manajerpun perlu dipersiapkan untuk pimpinan pusat maupun cabang.


 

d. Aspek Kelembagaan

Perusahaan gadai syariah membawa misi syiar Islam, oleh karena itu harus dapat diyakini bahwa seluruh proses operasional dilakukan tidak meyimpang dari prinsip syariat Islam. Proses operasional mulai dari mobilisasi dana untuk modal dasar sampai kepada penyalurannya kepada masyarakat tidak boleh mengandung unsur-unsur riba. Usaha-usaha yang akan dibiayai dari pinjaman gadai syariah adalah usaha-usaha yang tidak dilarang dalam agama Islam. Untuk meyakini tidak adanya penyimpangan terhadap ketentuan syariah diperlukan adanya suatu dewan pengawas yang lazimnya disebut Dewan Pengawas Syariah yang selalu memonitor kegiatan perusahaan. Oleh karena itu organisasi perusahaan gadai syariah sangat unik karena harus melibatkan unsur ulama yang cukup dikenal oleh masyarakat setempat.


 

e. Aspek Sistem dan Prosedur

Menyandang nama syariah pada kegiatan hutang piutang gadai membawa konsekuensi harus efektif dan efisiensinya kegiatan operasional perusahaan gadai syariah. Oleh karena itu sistem dan prosedur harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meyulitkan calon nasabah yang akan meminjamkan uang baik dalam perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-qardhul hassan maupun hutang-piutang gadai dalam bentuk almudharabah. Loket-loket dipisahkan antara yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-qardhul hassan dan yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah, namun harus dibuat fleksibel sedemikian rupa sehingga terhindar adanya antrian panjang. Biasanya mereka yang ingin memasuki perjanjian hutang piutang gadai dalam bentuk al-mudharabah adalah peminjam dalam jumlah besar.


 


 


 

f. Aspek Pengawasan

Aspek pengawasan dari suatu perusahaan gadai syariah adalah sangat penting karena dalam pengertian pengawasan itu termasuk didalamnya pengawasan oleh Yang Maha Kuasa melalui malaikat-Nya. Oleh karena itu organ pengawasan internal perusahaan yang disebut Satuan Pengawasan Intern (SPI) adalah merupakan pelaksana amanah. Tanggung jawab organ pengawasan termasuk para pimpinan unit tidak hanya kepada Dewan Komisaris dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tetapi juga harus dapat mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah SWT dihari akhir kelak. Yang termasuk dalam organ pengawasan adalah Dewan Pengawasan Syariah yang terdiri dari para ulama yang cukup dikenal masyarakat.


 

3.2 Prospek Pegadaian Syariah

Dengan asumsi bahwa pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan gadai syariah maka yang dikehendaki adalah perusahaan yang cukup besar yaitu yang mempunyai persyaratan dua kali modal disetor setara dengan perusahaan asuransi (minimum dua kali lima belas milyar rupiah atau sama dengan tiga puluh milyar rupiah), maka untuk mendirikan perusahaan seperti ini perlu pengkajian kelayakan usaha yang hati-hati dan aman.

Prospek suatu perusahaan secara relatif dapat dilihat dari suatu analisa yang disebut SWOT atau dengan meneliti kekuatan (Strength), kelemahannya (Weakness), peluangnya (Oportunity), dan ancamannya (Threat) , sebagai berikut:

a. Kekuatan (Strength) dari sistem gadai syariah.

(1). Dukungan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk.

Perusahaan gadai syariah telah lama menjadi dambaan umat Islam di Indonesia, bahkan sejak masa Kebangkitan Nasional yang pertama. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan umat Islam terhadap adanya pegadaian syariah.

(2). Dukungan dari lembaga keuangan Islam di seluruh dunia.

Adanya pegadaian syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam adalah sangat penting untuk menghindarkan umat Islam dari kemungkinan terjerumus kepada yang haram. Oleh karena itu pada konferensi ke 2 Menteri-Menteri Luar Negeri negara muslim di seluruh dunia bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan telah sepakat untuk pada tahap pertama mendirikan Islamic Development Bank (IDB) yang dioperasikan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. IDB kemudian secara resmi didirikan pada bulan Agustus 1974 dimana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. IDB pada Articles of Agreement-nya pasal 2 ayat XI akan membantu berdirinya bank dan lembaga keuangan yang akan beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam di negara-negara anggotanya. Beberapa bank Islam yang berskala internasional telah datang ke Indonesia untuk menjajaki kemungkinan membuka lembaga keuangan syariah secara patungan. Hal ini menunjukkan besarnya harapan dan dukungan lembaga keuangan internasional terhadap adanya lembaga keuangan syariah di Indonesia.

(3). Pemberian pinjaman lunak al-qardhul hassan dan pinjaman mudharabah dengan sistem bagi hasil pada pegadaian syariah sangat sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

  1. Penyediaan pinjaman murah bebas bunga (al-qardhul hassan) adalah jenis pinjaman lunak yang diperlukan masyarakat saat ini mengingat semakin tingginya tingkat bunga.
  2. Penyediaan pinjaman mudharabah mendorong terjalinnya kebersamaan antara pegadaian dan nasabahnya dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan / kerugian secara adil.
  3. Pada pinjaman mudharabah, pegadaian syariah dengan sendirinya tidak akan membebani nasabahnya dengan biaya-biaya tetap yang berada diluar jangkauannya. Nasabah hanya diwajibkan membagi hasil usahanya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan sebelumnya. Bagi hasil kecil kalau keuntungan usahanya kecil dan bagi hasil besar kalau hasil usahanya besar.
  4. Investasi yang dilakukan nasabah pinjaman mudharabah tidak tergantung kepada tinggi rendahnya tingkat bunga karena tidak ada biaya uang (biaya bunga pinjaman) yang harus diperhitungkan.
  5. Pegadaian syariah bersifat mandiri dan tidak terpengaruh secara langsung oleh gejolak moneter baik dalam negeri maupun internasional karena kegiatan operasional bank ini tidak menggunakan perangkat bunga.

Dengan mengenali kekuatan dari pegadaian syariah, maka kewajiban kita semua untuk terus mengembangkan kekuatan yang dimiliki perusahaan gadai dengan sistem ini.

b. Kelemahan (weakness) dari sistem gadai syariah.

  1. Berprasangka baik kepada semua nasabahnya dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat dalam perjanjian bagihasil adalah jujur dapat menjadi bumerang karena pegadaian syariah akan menjadi sasaran empuk bagi mereka yang beritikad tidak baik. Contoh : Pinjaman mudharabah yang diberikan dengan sistem bagihasil akan sangat bergantung kepada kejujuran dan itikad baik nasabahnya. Bisa saja terjadi nasabah melaporkan keadaan usaha yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Misalnya suatu usaha yang untung dilaporkan rugi sehingga pegadaian tidak memperoleh bagian laba.
  2. Memerlukan perhitungan-perhitungan yang rumit terutama dalam menghitung biaya dan bagian laba. Dengan demikian kemungkinan salah hitung setiap saat bisa terjadi sehingga diperlukan kecermatan yang lebih besar.
  3. Karena membawa misi bagihasil yang adil, maka pegadaian syariah lebih banyak memerlukan tenaga-tenaga profesional yang andal. Kekeliruan dalam menilai kelayakan proyek yang akan dibiayai dengan sistem bagihasil mungkin akan membawa akibat yang lebih berat daripada yang dihadapi dengan cara konvensional yang hasil pendapatannya sudah tetap dari bunga.
  4. Karena pegadaian syariah belum banyak dioperasikan di Indonesia, maka kemungkinan disana-sini masih diperlukan perangkat peraturan pelaksanaan untuk pembinaan dan pengawasannya. Masalah adaptasi sistem pembukuan dan akuntansi pegadaian syariah terhadap sistem pembukuan dan akuntansi yang telah baku, termasuk hal yang perlu dibahas dan diperoleh kesepakatan bersama. Dengan mengenali kelemahan-kelemahan ini maka adalah kewajiban kita semua untuk memikirkan bagaimana mengatasinya dan menemukan penangkalnya.


     

c. Peluang (Opportunity) dari Pegadaian Syariah

Bagaimana peluang dapat didirikannya pegadaian syariah dan kemungkinannya untuk tumbuh dan berkembang di Indonesia dapat dilihat dari berbagai pertimbangan yang membentuk peluang-peluang dibawah ini :

(1). Peluang karena pertimbangan kepercayaan agama

Merupakan hal yang nyata didalam masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam, masih banyak yang menganggap bahwa menerima dan/atau membayar bunga adalah termasuk menghidup suburkan riba. Karena riba dalam agama Islam jelas -jelas dilarang maka masih banyak masyarakat Islam yang tidak mau memanfaatkan jasa pegadaian yang telah ada sekarang.

Meningkatnya kesadaran beragama yang merupakan hasil pembagunan di sektor agama memperbanyak jumlah perorangan, yayasan-yayasan, pondok-pondok pesantren, sekolah-sekolah agama, masjid-masjid, baitul-mal, dan sebagainya yang belum memanfaatkan jasa pegadaian yang sudah ada.

Sistem pengenaan biaya uang / sewa modal dalam sistem pegadaian yang berlaku sekarang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur yang tidak sejalan dengan syariah Islam, yaitu antara lain :

  • Biaya ditetapkan dimuka secara pasti (fixed), dianggap mendahului takdir karena seolah-olah peminjam uang dipastikan akan memperoleh keuntungan sehingga mampu membayar pokok pinjaman dan bunganya pada waktu yang telah ditetapkan.
  • Biaya ditetapkan dalam bentuk prosentase (%) sehingga apabila dipadukan dengan unsur ketidakpastian yang dihadapi manusia, secara matematis dengan berjalannya waktu akan bisa menjadikan hutang berlipat ganda.
  • Memperdagangkan / menyewakan barang yang sama dan sejenis (misalnya rupiah dengan rupiah yang masih berlaku, dll) dengan memperoleh keuntungan/kelebihan kualitas dan kuantitas, hukumnya adalah riba.
  • Membayar hutang dengan lebih baik (yaitu diberikan tambahan) seperti yang dicontohkan dalam Al-Hadits, harus ada dasar sukarela dan inisiatifnya harus datang dari yang punya hutang pada waktu jatuh tempo, bukan karena ditetapkan dimuka dan dalam jumlah yang pasti (fixed).

Unsur-unsur yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan syariat Islam di ataslah yang ingin dihindari dalam mengelola pegadaian syariah.

(2). Adanya peluang ekonomi dari berkembangnya pegadaian syariah

Selama Repelita VI diperlukan pembiayaan pembangunan yang seluruhnya diperkirakan akan mencapai jumlah yang sangat besar. Dari jumlah tersebut diharapkan sebagian besar dapat disediakan dari tabungan dalam negeri dan dari dana luar negeri sebagai pelengkap saja. Dari tabungan dalam negeri diharapkan dapat dibentuk melalui tabungan pemerintah yang kemampuannya semakin kecil dibandingkan melalui tabungan masyarakat yang melalui sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya.

Mengingat demikian besarnya peranan yang diharapkan dari tabungan masyarakat melalui sektor perbankan maka perlu dicarikan berbagai jalan dan peluang untuk mengerahkan dana dari masyarakat. Pegadaian berfungsi mencairkan (dishoarding) simpanan-simpanan berupa perhiasan dan barang tidak produktif yang kemudian diinvestasikan melalui mekanisme pinjaman mudharabah.

Adanya pegadaian syariah yang telah disesuaikan agar tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku akan memperkaya khasanah lembaga keuangan di Indonesia. Iklim baru ini akan menarik penanaman modal di sektor lembaga keuangan khususnya IDB dan pemodal dari negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah.

Konsep pegadaian syariah yang lebih mengutamakan kegiatan produksi dan perdagangan serta kebersamaan dalam hal investasi, menghadapi resiko usaha dan membagi hasil usaha, akan memberikan sumbangan yang besar kepada perekonomian Indonesia khususnya dalam menggiatkan investasi, penyediaan kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan.


 

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mengingat pegadaian syariah adalah sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam, maka perusahaan gadai dengan sistem ini akan mempunyai segmentasi dan pangsa pasar yang baik sekali di Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan disesuaikan dengan ketentuan umum yang berlaku, peluang untuk dapat dikembangkannya pegadaian syariah cukup besar.


 

d. Ancaman (threat) dari pegadaian syariah

Ancaman yang paling berbahaya ialah apabila keinginan akan adanya pegadaian syariah itu dianggap berkaitan dengan fanatisme agama. Akan ada pihak-pihak yang akan menghalangi berkembangnya pegadaian syariah ini semata-mata hanya karena tidak suka apabila umat Islam bangkit dari keterbelakangan ekonominya. Mereka tidak mau tahu bahwa pegadaian syariah itu jelas -jelas bermanfaat untuk semua orang tanpa pandang suku, agama, ras, dan adat istiadat. Isu primordial, eksklusivisme atau sara mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berdirinya pegadaian syariah. Ancaman berikutnya adalah dari mereka yang merasa terusik kenikmatannya mengeruk kekayaan rakyat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam melalui sistem bunga yang sudah ada. Munculnya pegadaian syariah yang menuntut pemerataan pendapatan yang lebih adil akan dirasakan oleh mereka sebagai ancaman terhadap status quo yang telah dinikmatinya selama puluhan tahun. Isu tentang ketidakcocokan dengan sistem internasional yang berlaku di seluruh dunia mungkin akan dilontarkan untuk mencegah berkembangnya pegadaian syariah. Dengan mengenali ancaman-ancaman terhadap dikembangkannya pegadaian syariah ini maka diharapkan para cendekiawan dapat berjaga -jaga dan mengupayakan penangkalnya.

Dari analisa SWOT tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pegadaian syariah mempunyai prospek yang cukup cerah, baik itu adalah Perum Pegadaian yang telah mengoperasikan sistem syariah maupun pegadaian syariah yang baru. Prospek ini akan lebih cerah lagi apabila kelemahan (weakness) sistem pegadaian syariah dapat dikurangi dan ancaman (threat) dapat diatasi.


 

3.3 Teknik Transaksi

Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan di atas dua akad transaksi Syariah yaitu:

  1. Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini Pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.
  2. Akad Ijarah. Yaitu  akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi Pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

Rukun dari akad transaksi tersebut meliputi :

a.    Orang yang berakad :

    1) Yang berhutang (rahin) dan

    2) Yang berpiutang (murtahin).

    Rahin dan Murtahin harus mengikuti syarat-syarat berikut: memiliki kemampuan, yaitu berakal sehat, kemampuan juga berarti kelayakan seseorang melakukan transaksi pemilikan. Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam.

b.     Sighat (ijab qabul)

- Sighat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan juga dengan suatu waktu di masa depan. Sighat dapat saja dilakukan secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai diantara para pihak.

     - Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan pemberian utang seperti halnya akad jual beli. Maka tidak boleh diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu di masa depan.

c.     Harta yang dirahnkan (marhun)

    - Harus diperjualbelikan.

    - Harus berupa harta yang bernilai.

    - Harus bisa dimanfaatkan secara syariah.

    - Harus diketahui keadaan fisiknya.

    - Harus dimiliki rahin.

    Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai (rahin), barang gadaian itu kemudian berada dibawah pengawasan penerima gadai (murtahin).

d.     Pinjaman (marhun bih)

- Harus merupakan hak yang wajib diberikan atau diserahkan kepada pemiliknya.

    - Memungkinkan pemanfaatan.

    - Harus dikuantifikasi atau dapat dihitung jumlahnya.

- Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.


 

Mengenai barang (marhum) apa saja yang boleh digadaikan, dijelaskan sebagai berikut:

1. Barang yang tidak bisa dijual tidak boleh digadaikan.

2. Tidak sah menggadaikan barang rampasan (gasab) atau barang pinjaman dan

semua barang yang diserahkan kepada orang lain sebagai jaminan.

3. Gadai tidak sah apabila hutangnya belum pasti.

4. Hutang piutang dalam gadai harus diketahui oleh kedua pihak.

5. Barang harus diterima pegadaian.

6. Jika barang belum diterima, akad gadai boleh dibatalkan.

7. Jika barang sudah diterima, akad gadai tidak boleh dibatalkan.

8. Pembatalan dapat dilakukan dengan ucapan maupun tindakan.

9. Barang gadaian adalah amanah di tangan penerima gadai.

10. Jika barang gadaian musnah tanpa kesengajaan maka pegadaian tidak wajib

menggantinya. Tetapi jika ada unsur kesengajaan dari pegadaian, maka

pegadaian wajib menggantinya.

Aspek lainnya yang perlu mendapat perhatian dalam kaitan dengan perjanjian gadai adalah yang menyangkut masalah hak dan kewajiban masing – masing pihak dalam situasi dan kondisi yang normal maupun yang tidak normal. Situasi dan kondisi yang tidak normal bisa terjadi karena adanya peristiwa force mayor seperti perampokan, bencana alam, dan sebagainya.

Mekanisme operasional Pegadaian Syariah dapat digambarkan sebagai berikut : Sebagai penerima gadai atau disebut Murtahim, Anda akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah).
Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijaroh) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untuk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.
Melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian Pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh Pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi Pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Pegadaian Syariah akan memperoleh keutungan hanya dari bea sewa tempat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman.

Adapun ketentuan atau persyaratan yang menyertai akad tersebut meliputi : 

  1. Akad. Akad tidak mengandung syarat fasik/bathil seperti murtahin mensyaratkan, barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.
  2. Marhun Bih ( Pinjaman). Pinjaman merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut. Serta, pinjaman itu jelas dan tertentu.
  3. Marhun (barang yang dirahnkan). Marhun bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain, dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.
  4. Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.
  5. Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa : biaya asuransi,biaya penyimpanan,biaya keamanan, dan biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh layanan dari Pegadaian Syariah, masyarakat hanya cukup menyerahkan harta geraknya ( emas, berlian, kendaraan, dan lain-lain) untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf Penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebut yang akan dijadikan sebagai patokan perhitungan pengenaan sewa simpanan (jasa simpan) dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsik dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh Perum Pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan adalah sebesar 90% dari nilai taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, Pegadaian Syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan :

  1. Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.
  2. Nasabah bersedia membayar jasa simpan sebesar Rp 90,- (sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat melunasi pinjaman.
  3. Membayar biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.


 


 

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk :

  • melakukan penebusan barang/pelunasan pinjaman kapan pun sebelum jangka waktu empat bulan,
  • mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi,
  • atau hanya membayar jasa simpannya saja terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjaman uangnya.


 

Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpan, maka Pegadaian Syarian melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan dengan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun ternyata nasabah tidak mengambil uang tersebut, Pegadaian Syariah akan menyerahkan uang kelebihan kepada Badan Amil Zakat sebagai ZIS.

Dalam keadaan tidak normal dimana barang yang dijadikan jaminan hilang, rusak, sakit atau mati yang berada diluar kekuasaan, murtahin tidak menghapuskan kewajiban rahin melunasi hutangnya. Namun dalam praktek pihak murtahim telah mengambil langkah – langkah pencegahan dengan menutup asuransi kerugian sehingga dapat dilakukan penyelesaian yang adil.

Dalam hal orang yang menggadaikan meninggal dan masih menanggung hutang, maka penerima gadai boleh menjual barang gadai tersebut dengan harga umum. Hasil penjualan apabila cukup dapat dipakai untuk menutup hutangnya, apabila lebih dikembalikan kepada ahli waris, tetapi apabila kurang ahli waris tetap harus menutup kekurangannya atau barang gadai dikembalikan kepada ahli waris setelah ahli waris melunasi hutang almarhum pemilik barang.


 

3.4 Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah, harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan Pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan Bank Muamalat sebagai fundernya, ke depan Pegadaian juga akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lain untuk memback up modal kerja.

Dari uraian ini dapat dicermati perbedaan yang cukup mendasar dari teknik transaksi Pegadaian Syariah dibandingkan dengan Pegadaian konvensional, yaitu :

  1. Di Pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.
  2. Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian : hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan Pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

3.5 Program Pegadaian Syariah

Perkembangan produk-produk berbasis syariah kian marak di Indonesia, tidak terkecuali pegadaian. Perum pegadaian mengelurkan produk berbasis syariah yang disebut dengan pegadai syariah. Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditi yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhum bih (UP) mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income(FBI).

Sebagai salah satu inovasi , produk yang diluncurkan oleh pagadaian adalah Program Kredit Tunda Jual Komoditas pertanian yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Gadai Gabah. Program ini diluncurkan atas landasan pemikiran bahwa dalam rangka mengurangi kerugian petani akibat perbedaan harga jual gabah pada saat penen raya. Sasaran utama program ini adalah membantu petani agar bisa menjual gabah yang dimilikinya sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Pengalaman selama ini ketika terjadi panen raya, petani selalu menjadi pihak yang dirugikan. Untuk mencegah kerugian yang diderita oleh petani pada saat musim panen akibat anjloknya harga gabah, Perum Pegadaian meluncurkan gadai gabah. Dengan sistem ini, petani menggadaikan gabahnya pada musim panen, untuk ditebus dan dijualnya ketika harga gabah kembali normal. Dengan adanya gadai gabah, petani bisa tidak menjual semua gabahnya pada saat musim panen (harga murah) melainkan menyimpannya dulu di gudang milik agen yang menjadi mitra pegadaian. Petani menggadaikan sebagian gabahnya pada musim panen pada Perum Pegadaian dengan harga yang berlaku saat itu. Setelah harga gabah kembali normal, petani dapat menebusnya dengan harga yang sama ketika menggadaikan gabahnya ditambah dengan sewa modal sebesar 3,5 persen perbulan. Jika selama batas waktu empat bulan (masa jatuh tempo kredit) petani tidak dapat menebusnya, gabah akan dilelang oleh Perum Pegadaian. Kelebihan harga gabah akan diberikan kepada petani. Gabah yang diterima sebagai barang jaminan adalah Gabah Kering Giling (GKG). Bila gabah petani bukan gabah kering giling maka petani akan dikenakan proses handling yang besarnya Rp10 per kg.
Selain itu Pegadaian juga membuat program Kredit Angsuran Fidusia (KREASI) dan Kredit Angsuran Gadai (KRASIDA). Produk-produk Pegadaian sudah semakin beragam dengan dikeluarkannya dua produk dengan mekanisme penyaluran Kredit Usaha Mikro dan kecil menggunakan sistem kredit, kedua produk tersebut adalah Kredit Angsuran Fidusia (KREASI) dan Kredit Angsuran Gadai (KRASIDA). KREASI adalah pemberian pinjaman uang yang ditujukan kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Fidusia. Kredit atas dasar fidusia merupakan pengikatan jaminan dengan lembaga pengikatan jaminan yang sempurna dan memberikan hak yang referent kepada kreditor, dalam hal ini adalah lembaga jaminan atau fidusia. Kredit dengan fitur fidusia, bagi kreditur dan debitur merupakan jaminan yang "ideal". Bagi kreditur uang yang dilepaskan tetap terjamin. Sedangkan bagi debitur prosedur mendapatkan uang lebih mudah dan yang paling penting lagi adalah barang jaminan tetap dapat digunakan untuk menjalankansegalaaktivitas.

KRASIDA adalah pemberian pinjaman uang kepada para pengusaha mikro dan kecil dengan menggunakan konstruksi penjaminan kredit atas dasar Gadai.

Faktor pertimbangan utama dalam pemberian pinjaman tetap dilihat dari analisa cashflow-nya. Maksimum pinjaman untuk setiap nasabah (meski memiliki beberapa unit usaha) adalah Rp 50 juta untuk usaha mikro dan Rp 250 juta untuk usaha skala kecil. Kredit Serba Guna (KRESNA).

Asuransi Syariah

2.4 Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

Prinsip utama dalam asuransi syariah adalah ta'awanu 'akla al birr wa al-taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta'min (rasa aman). Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi takaful sebagai berikut :

  • Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong perserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan niat ikhlas.
  • Saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan yang lainnya salaing bekerja sama dan saling menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
  • Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami gangguan keselamatan berupa musibah yang dideritanya.
  • Menghindari unsure gharar, maisir dan riba.

    Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi dapat terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.

    • Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian, ada dua bentuk yaitu :
  1. Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis. Secara konvensional, kontrak dapat dikategorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran (pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan). Secara harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berpa yang dibayar dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (ghara) karena kita tahu berapa yang diterima tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayar. Dalam konsep syariah, keadaan ini akan lain karena akad yang digunakan adalah akad takafuli (tolong-menolong dan saling menjamin) di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan penjamin satu sama lainnya.
  2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar'I penerima uang klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan yang diberikan perusahaan asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan satu lagi dimasukkan dalam rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru' yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang diberikan oleh para peserta.
  • Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak menerima apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan, keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota menerima dana pembayaran klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapaykan prermi yang disetor kecuali dana yang dimasukkan dalam dana tabarru'.
  • Riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah dan musyarakah.


 

Keterangan

Asuransi Syariah

Asuransi Konvensional

Konsep

Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan pergantian kepada tertanggung

Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru'

System Akuntansi

Menggunakan accrual basic

Menggunakan cash basic

Pengawasan Dewan Syariah

Adanya Dewan Pengawas Syariah. Fungsinya mengawasi produk yang dipasarkan dan investasi dana.

Tidak ada

Akad

Tolong-menolong (takaful)

Jual beli

Investasi Dana

Investasi dana berdasarkan syariah dengan system bagi hasil (mudharabah)

Investasi dana berdasarkan bunga

Kepemilikan Dana

Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) merupakan milik peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelola.

Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan sehingga perusahaan bebas menentukan investasinya

Pembayaran Klaim

Dari rekening tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk kjeperluan tolong-menolong bila terjadi musibah

Dari rekening dana perusahaan

Keuntungan (profit)

Dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai dengan prinsip bagi hasil (mudharabah)

Seluruhnya menjadi milik perusahaan

Pengelolaan dana

Tidak ada pemisahan dana

Adanya pemisahan dana yaitu dana tabarru dan dana peserta

Kepemilikan dana

Dana yang terkumpul merupakan milik peserta (shahibul maal), perusahaan hanya sebagai pemegang amanah (Mudharib) dalam mengelola dana tersebut

Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya menjadi milik perusahaan

Unsur Premi

Iuran atau kontribusi terdiri dari dana tabarru' dan tabungan yang tidak mengandung unsure riba

Unsure premi terdiri dari: tabel moralita, bunga dan biaya-biaya asuransi

Keuntungan

Keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi, bukan seluruhnya milik perusahaan tetapi dilakukan bagi hasil dengan peserta

Keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil seluruh investasi perusahaan

Visi & Misi

Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah misi aqidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat.

Misi ekonomi dan misi social


 

2.6 Jenis, Mekanisme Pengelolaan Dana dan Manfaat Asuransi Syariah

2.6.1 Jenis Asuransi Syariah

Sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka asuransi syariah / takaful terdiri dari dua jenis, yaitu :

  1. Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa), bentuk takaful yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi takaful. Produk takaful keluarga meliputi :
    1. Takaful berencana
    2. Takaful pembiayaan
    3. Takaful pendidikan
    4. Takaful dana haji
    5. Takaful berjangka
    6. Takaful kecelakaan siswa
    7. Takaful kecelakaan diri
    8. Takaful khairat keluarga


 

  1. Takaful Umum (Asuransi Kerugian), bentuik takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful, seperti bangunan rumah dan sebagainya. Produk takaful umu meliputi :
    1. Takaful kendaraan bermotor
    2. Takaful kebakaran
    3. Takaful kecelakaan diri
    4. Takaful pengangkutan laut
    5. Takaful rekayasa / Engineering
    6. Dll.


 

2.6.2 Mekanisme Pengelolaan Dana Asuransi Syariah

  1. Takaful Keluarga

    Dalam takaful keluara terdapat dua macam sistem yang dipakai, yaitu sistem pengelolaan dana dengan unsure tabungan dan sistem pengelolaan dana tanpa unsure tabungan. Mekanisme operasional pengelolaan dana pada Asuransi Takaful Keluarga dengan unsure tabungan adalah sebagai berikut :

    Setiap premi takaful yang telah ditrima akan dimasukkan ke dalam :

    1. Rekening tabungan, yaitu rekening tabungan peserta.
    2. Rekening khusus / tabarru', yaitu rekening yang diniatkan derma dan digunakan untuk membayar klaim (manfaat takaful) kepada ahli waris, apabila ada di antara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalaami musibah lainnya.


     

    Premi takaful akan disatukan ke dalam "kumpulan dana peserta" yang selanjutnya diinvestasikan dalam pembiayaann-pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan yang diperoleh dari investasi itu akan dibagikan sesuai perjanjian mudharabah yang disepakati bersama misalnya 70% untuk peserta dan 30% untuk perusahaan takaful.

    Atas bagian keuntungan milik peserta (70%) akan ditambahkan dalam rekening tabungan dan rekening khusus secara proporsional. Rekening tabungan akan dibayarkan apabila pertanggungan berakhir atau mengundurkan diri dalam masa pertanggungan. Sedangkan rekening khusus akan dibayarkan apabila peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan atau pertanggungan berakhir (jika ada). Sedangkan bagian keuntungan perusahaan (30%) akan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan.


     

    Gambar

    Bagian Pengelolaan Dana Premi Takaful Keluarga dengan Unsur Tabungan


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Sedangkan mekanisme operasional pengelolaan dana pada Takaful Keluarga tanpa unsure tabungan sama dengan mekanisme operasional Takaful Umum.


 

b. Takaful Umum

    Setiap premi takaful yang diterima akan dimasukkan dalam rekening khusus yaitu rekening yang diniatkan untuk derma / tabarru' dan digunakan untuk membayar klaim kepada peserta apabila terjadi musibah atas harta benda atau peserta itu sendiri.

Premi takaful akan dikelompokan dalam "kumpulan dana peserta" yang kemudian diinvestasikan dalam pembiayaan-pembiayaan proyek yang dibenarkan secara syariah. Keuntungan investasi yang diperoleh akan dimasukkan dalam kumpulan dana peserta untuyk kemudian dikurangi "beban asuransi" (klaim, premi asuransi). Bila terdapat kelebihan sisa akan dibagikan menurut prinsip mudharabah. Bagian keuntungan milik peserta akan dikembalikan kepada peserta yang tidak mengalami musibah sesuai dengan penyertaannya. Sedangkan bagian keuntungan perusahaan akan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan. Pengelolaan dana premi takaful umum dapat dilihat pada gambar berikut.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

2.6.3 Manfaat Asuransi Syariah (Takaful)

  1. Takaful Keluarga

    Pada takaful keluarga ada tiga jenis manfaat yang diterima oleh peserta, yaitu klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta takaful apabila :

    1. Peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), dalam hal ini maka ahli warisnya akan menerima :
      1. Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
      2. Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana untuk maksud ini diambil dari rekening khusus / tabarru' para peserta yang memang disediakan untuk itu.
    2. Peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan. Dalam hal ini peserta yang bersangkutan akan menerima :
      1. Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
      2. Kelebihan dari rekening khusus / tabarru' peserta apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan dan pembayaran klaim masih ada kelebihan.
    3. Peserta mengundurkan diri sebelum massa pertanggungan selesai. Dalam hal ini peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian dari hasil keuntungan investasi.


     

  2. Takaful Umum

    Klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah yang menimbulkan kerugian harta bendanya sesuai dengan perhitungan kerugian yang wajar. Dana pembayaran klaim takaful diambil dari kumpulan pembayaran premi peserta.

    Baik pada takaful keluarga maupun takaful umum keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dana rekening peserta pada takaful keluarga dan dana kumpulan premi setelah dikurangi biaya operasional perusahaan pada takaful umum, dibagikan kepada perusahaan dan peserta takaful sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi pembagian yang telah disepakati sebelumnya.


 

2.7 Pembinaan dan Pengawasan Asuransi Syariah

Sebagaimana asuransi konvensional, pembinaan dan pengawasan asuransi syariah dilakukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia. Hal ini berdasarkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian yang menyatakan bahwa: "Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perasuransian dilakukan oleh menteri." Namun seperti dijelaskan sebelumnya, pada asuransi syuariah terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan suatu badan independent yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada sebuah perusahaan asuransi.

DSN merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia yang bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatperekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya. DSN ini adalah satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Anggota DPS dalam perusahaan asuransi harus terdiri dari para pakar dibidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan umum bidang asuransi. Persyaratan anggota DPS ditetapkan oleh DSN. DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoriatas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk asuransi dengan ketentuan dan prinsip syariah. DPS berfungsi mengawasi prinsip operasional yang digunakan, produk asuransi yang ditawarkan, serta investasi yang dilakukan oleh manajemen asuransi agar manajemen asuransi ini tidak keluar koridor yang telah ditentukan syariat Islam. Dengan adanya DPS, asuransi takaful sebagai bentuk asuransi Islam tidak akan keluar dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Baitul Maal wa Tamwil

  1. Organisasi Baitul Maal wa Tamwil

Untuk memperlancar tugas BMT, maka diperlukan struktur yang mendeskripsikan alur kerja yang harus dilakukan oleh personil yang ada di dalam BMT tersebut. Struktur organisasi BMT meliputi, musyawarah Anggota pemegang simpanan pokok, dewan syariah, Pembina manajemen, manajer, pemasaran, kasir, dan pembukuan.

Adapun tugas dari masing-masing struktur di atas adalah sebagai berikut:

  1. Musyawarah anggota pemegang simpanan pokok memegang kekuasaan tertinggi di dalam memutuskan kebijakan-kebijakan makro BMT.
  2. Dewan Syariah, bertugas mengawasi dan menilai operasional BMT.
  3. Pembina manajemen, bertugas untuk membina jalannya BMT dalam merealisasikan programnya.
  4. Manajer bertugas menjalankan amanat musyawarah anggota BMT dan memimpin BMT dalam merealisasikan programnya.
  5. Pemasaran bertugas untuk mensosialisasikan dan mengelola produk-produk BMT.
  6. Kasir bertugas melayani nasabah.
  7. Pembukuan bertugas untuk melakukan pembukuan atas asset dan omzet BMT.


     

Dalam struktur organisasi standar, musyawarah anggota pemegang simpanan pokok melakukan koordinasi dengan dewan syariah dan Pembina manajemen dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh manajer. Manajer memimpin keberlangsungan maal dan tamwil. Tamwil terdiri dari pemasaran, kasir, dan pembukuan. Sedangkan anggota dan nasabah berhubungan koordinatif dengan maal, pemasaran, kasir dan pembukuan.


 


 

Struktur Organisasi Baitul Mal wa Tamwil


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Keterangan : ……………………… garis koordinasi

________________ garis komando

Tetapi dalam kenyataannya setiap BMT memiliki bentuk struktur organisasi yang berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh:

a.     Ruang lingkup atau wilayah operasi BMT.

b.     Orientasi program kerja yang akan direalisasikan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

d.     Jumlah sumber daya manusia yang diperlukan dalam menjalankan operasi BMT.


 

  1. Konsep Operasional Baitut Tamwil

Fungsi dari perbankan Syariah adalah sebagai manejer investasi , investor, dan penyedia jasa layanan perbankan lainnya. Sedangkan kegiatan operasionalnya berupaya untuk melaksanakan penghimpunan dana, pengelolaan dana, dan penyaluran dana, dan penyaluran dana ke sektor-sektor investasi yang menguntungkan melalui produk-produk pembiayaan.

Kegiatan Baitut Tamwil di Indonesia bisa dijalankan oleh industri Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Kedua jenis lembaga keuangan ini pada prinsipnya memilki kesamaan konsep operasional, perbedaannya terletak pada bentuk hukum serta konsekuensi yang mengikutinya sebagai badan hukum.

Kegiatan Baitut Tamwil dijalankan oleh Industri Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah, yang pada prinsipnya memiliki kesamaan konsep operasional.


 

Alur Operasional Baitut Tamwil

Alur Operasi Baitut Tamwil


 


 

Penghimpun Dana             Penyaluran Dana     Pendapatan


 


 


 

Laporan laba rugi


 


 


 


 


 


 

Berdasarkan gambar diatas bahwa kegiatan Baitut Tamwil dimulai dengan melakukan penghimpunan dana. Ada kesamaan sumber dana yang diperoleh baik Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), antara lain:

  1. Wadiah

Wadiah atau Al Wadiah dari segi bahasa diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari segi operasional, Wadiah diartikan sebagai titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja dikehendaki oleh pihak yang menitipkan barang (Sudarsono, 2003:75).

Konsekuensinya, titipan merupakan jasa perbankan, dimana pihak yang dititipi barang berhak untuk meminta fee atas jasa titipan tersebut. Dalam praktiknya terdapat dua jenis titipan (Wadiah) yaitu Wadiah Yad Amanah dan Wadiah Yad Dhamanah.

1.     Wadiah Yad Amanah

Wadiah Yad Amanah merupakan akad titipan dimana pihak yang menitipkan barang tidak memperkenankan pihak yang dititipi barang untuk menggunakan barang yang dititipkan. Pihak yang dititipi berhak mendapatkan fee atas jasa yang diberikan. Dalam praktiknya Perbankan Syariah, jasa ini bisa diwujudkan dalam bentuk safe deposit box atau giro dimana pihak Perbankan Syariah tidak diperkenankan menggunakan barang atau dana yang dititipkan dengan leluasa.

2.    Wadiah Yad Dhamanah

    Wadiah Yad Dhamanah merupakan akad titipan dimana pihak yang menitipkan barang memberikan kewenangan dan kesempatan kepada pihak yang dititipi barang untuk menggunakan barang atau dana yang dititipkan untuk tujuan tertentu yang menguntungkan dengan batasan pada saat pihak yang menitipkan barang atau dana membutuhkannya, maka pihak dititipi harus bisa menyerahkan secara utuh.


 


 


 

  1. Mudharabah

Mudharabah merupakan akad kerja sama antara Shahibul Maal dan Mudharib (Perbankan Syariah/LKMS) dimana Shahibul Maal sepenuhnya menanggung modal usaha dan Mudharib sepenuhnya mengelola dana dengan porsi bagi hasil (hisba )yang disepakati pada awal akad. Nisbah yang disepakati tidak dalam bentuk nominal namun dalam bentuk persentase, bisa dengan model pembagian hasil usaha revenue Sharing (bagi pendapatan) atau Profit/Loss Sharing (bagi untung/rugi). Terdapat dua jenis akad Mudharabah yang digunakan, yaitu:

  1. Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat)

Akad investasi dimana pihak Shahibul Maal memberikan batasan kepada Mudharib dalam menginvestasikan dananya ke sector yang ditentukan oleh Shahibul Maal. Dalam hal ini, Mudarib hanya sebagai perantara atau agen investasi yang mendapatkan bagian atas jasanya.

  1. Mudharabah Mutlaqah (Investasi Tidak Terikat)

Akad investasi dimana pihak Shahibul Maal tidak memberikan batasan kepada Mudarib dalam menginvestasikan dananya. Mudarib berhak untuk menggunakan dana Shahibul Maal untuk membiayai investasi yang dianggap menguntungkan sesuai dengan prinsip syariah.


 

    Selain sumber dana yang diperoleh dengan Akad Wadiah dan Mudharabah terdapat perbedaan sumber dana yang diperoleh Perbankan Syariah dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah yaitu:

  1. Perbankan Syariah yang memiliki badan hukum Perseroaan Terbatas (PT) tentunya akan memasukan dana dalam bentuk modal dari para shareholder . Modal shareholder berbeda sifatnya dengan dana dari akad Wadiah maupun Mudharabah. Dana shareholder merupakan representasi kepemilikan atas badan hukum PT dimana mereka berhak untuk menentukan kebijakan manajemen Perbankan Syariah.
  2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah semacam BMT yang sebagian besar memliki badan hukum koperasi juga memiliki sumber dana lain yaitu berupa modal pendiri maupun modal penyertaan. Modal pendiri merupakan modal awal sudah ditentukan jumlah menurut ketentuan koperasi sedangkan modal penyertaan merupakan tambahan modal oleh para pihak yang ingin bekerja sama dengan koperasi. Berbeda dengan PT, kebijakan koperasi akan ditentukan melalui Rapat Anggota Tahunan dimana tidak ada pihak yang dinamakan pihak mayoritas ataupun pihak minoritas. Dalam Prinsip koperasi suara anggota akan dinilai sama (one man one vote).


 

Setelah Perbankan Syariah dan LKMS berhasil mengumpulkan dana-dana tersebut, kemudian disalurkan dalam bentuk pembiayaan kepada para nasabah dan anggotanya. Ada tiga konsep pembiayaan sesuai akad transaksi berbasis syariah, yang harus didasarkan pada kegiatan riil atau motivasi pembiayaan yang jelas, untuk menghindari adanya perdagangan uang. Ketiga prinsip pembiayaan tersebut antara lain:

  1. Prinsip Bagi Hasil

Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diimplementasikan ke dalam dua bentuk pembiayaan yaitu

1.     Pembiayaan Mudharabah adalah akad kerjasama permodalan usaha dimana Koperasi sebagai pemilik modal (Shahibul Maal) menyetorkan modalnya kepada anggota, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya sebagai pengusaha (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akan dengan pembagian keuntungan dibagi bersama dengan kesepakatan (nisbah), dan apabila rugi ditanggung pemilik modal sepanjang bukan merupakan kelalaian penerima pembiayaan.

2.     Pembiayaan Musyarakah adalah akad kerja sama permodalan usaha antara koperasi dengan satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai kesepakatan para pihak, sedang kerugian ditanggung secara proposional sesuai dengan kontribusi modal.


 

  1. Prinsip Jual Beli

Prinsip jual beli yang dilakukan oleh Perbankan Syariah dan LKMS diimplementasikan ke dalam 3 bentuk pembiayaan yaitu:

  1. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati antara pihak bank dan pihak nasabah. Perbankan sebagai penjual dan nasabah sebagai pembelinya. Dalam perjanjian Murabahah, Perbankan Syariah/LKMS membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok, dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang ditambah keuntunganatau mar-up. Dalm praktiknya, perjanjian ini digunakan untuk pembelian barang-barang konsumtif seperti alat-alat rumah tangga, barang elektronik, dan kendaraan bermotor.
  2. Salam adalah pembelian barang dengan model pesanan dimana pada perjanjian di awal telah disepakati barang yang dipesan berserta karakteristiknya dan sifat-sifatnya. Pembayaran dalam konsep salam ini dilakukan didepan serta penyerahan barangnya setelah barang yang dipesan jadi atau tersedia. Jual beli dengan pesanan ini, Perbankan Syariah/LKMS tidak harus memilki sendiri produknya, Perbankan Syariah/LKMS bisa menghubungi supplier yang mampu menyediakan barangnya. Jika Perbankan Syariah/LKMS tidak memilki barang dan membeli dari supplier, maka model ini dinamakan salam pararel. Konsep ini diguankan untuk pembelian produk-produk hasil pertanian.
  3. Istishma adalah proses jual beli barang dengan model pesanan seperti konsep salam, namun memiliki kekhususan yaitu jika terjadi perubahan harga dari kriteria barang yang dipesan setelah perjanjian ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung oleh pembeli atau nasabah. Konsep ini dunakan untuk proyek-proyek konstruksi yang memilki jangka waktu pembangunan dan rentan terhadap perubahan harga-harga material.


 


 


 

  1. Prinsip Sewa (Ujroh)

Prinsip sewa yang dilakukan oleh Perbankan Syariah /LKMS diimplementasikan ke dalam 2 bentuk produk yaitu:

  1. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership). Oleh karena itu, Perbankan Syariah/LKMS akan memperoleh pendapatan sewa dengan menyewakan barangnya kepada nasabah.
  2. Ijarah Muntahiyah Bittamlik merupakan proses sewa sepeti akad Ijarah dengan diikuti opsi beli bagi nasabah setelah akad sewa selesai dilaksanakan.Dengan proses penjualan diakhir masa sewa, Perbankan Syariah/LKMS dimungkinkan akan mendapatkan keuntungan dari proses jual beli tersebut.


 

Selain bertumpu pada ketiga prinsip pembiayaan tersebut, kegiatan Perbankan Syariah/LKMS juga masik memilki kesempatan untuk memperoleh tambahan pendapatn dari produk dan jasa lain yang diberikannya, antara lain:


 

Tabel Produk dan Jasa Lain Baitul Tamwil

Produk/Jasa 

Prinsip Syariah 

Pendapatan 

Pembayaran listrik, telepon, air 

wakalah 

Pendapatan jasa pembayaran 

Gadai Barang 

Rahn 

Pendapatan jasa gadai 

Titipan barang berharga 

Wadiah Yad Amanah 

Pendapatan jasa titipan 

Pembayaran Multijasa 

Wakalah, Kafalah, dan Ijarah 

Pendapatan jasa 

Pinjaman Sosial/Kebijakan 

Qardhul Hasan 

Pendapatan administrasi (jika ada) 

Pengalihan Hutang 

Hiwalah 

Pendapatan jasa

Pemberian Jaminan (Bank Garansi)

Kafalah

Pendapatan jasa

Letter of Credit (LC), transfer, inkaso, kliring

Wakalah

Pendapatan jasa

Jual beli valas (bank notes)

Sharf

Pendapatan jasa

Payroll

Ujroh, wakalah

Pendapatan jasa


 

Seperti halnya bank, BMT sebagai pemberi dana (shahibul maal/pemilik dana), dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan akan memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon peminjam (mudharib). Prinsip pemberian pembiayaaan BMT dikenal dengan

Prinsip 5 C,yaitu:

  1. Character, yaitu Penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon peminjam untuk memperkirakan kemungkinan bahwa peminjam dapat memenuhi kewajibannya.
  2. Capacity, yaitu Penilaian tentang kemampuan peminjam untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi peminjam di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti karyawan, mesin, sarana produksi, cara usahanya, dan lain sebagainya.
  3. Capital adalah Penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon peminjam, diukur dengan posisi usaha/perusahaan secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh rasio keuangan dan penekanan pada komposisi modalnya.
  4. Colateral, adalah Jaminan yang dimiliki calon peminjam. Penilaian ini untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu risiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi, maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajibannya.
  5. Conditions, dimana pihak BMT harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat dan secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon peminjam. Hal tersebut dilakukan karena kondisi eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses berjalannya usaha calon peminjam dalam jangka panjang. Proses pemberian pembiayaan BMT.


 


 

Secara garis besar, proses pemberian pembiayaan dalam lima tahapan, yaitu:

  1. Pengajuan pembiayaan. Nasabah mengajukan permohonan/proposal secara tertulis kepada BMT. Proses ini dilakukan oleh petugas BMT melalui account officer (AO)/account manager (AM). Ini dilakukan setelah semua persyaratan formal dipenuhi, seperti yang menyangkut legalitas calon peminjam (SIUP, NPWP, akta pendirian, laporan keuangan, data diri, dsb).
  2. Analisis usulan pembiayaan. Sementara usulan pembiayaan diproses oleh AO/AM (merupakan tugas dan wewenangnya), AO/AM mengajukan permohonan analisis kredit, seperti penilaian kelayakan usaha, penilaian jaminan, permohonan informasi calon peminjam, dan analisis yuridis ke bagian administrasi pembiayaan dan hukum. Analisis informasi yang berkaitan dengan calon peminjam juga dapat dilakukan melalui wawancara informal dengan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha/calon peminjam seperti tetangga, supplier bahan baku, rekanan usaha, karyawan, dsb. Hal ini dilakukan untuk memastikan capacity (kemampuan) calon peminjam untuk mengembalikan pinjamannya, dan menentukan nilai pinjaman yang harus diberikan oleh BMT. Proses ini merupakan proses yang paling penting bagi pihak pemberi dana (BMT), untuk memastikan keamanan dana yang diberikan serta mengurangi risiko yang mungkin terjadi di masa datang.
  3. Persetujuan komite pembiayaan BMT. Bila seluruh proses oleh AO/AM telah selesai dilakukan, dokumen yang berisi usulan pembiayaan tersebut diserahkan ke bagian administrasi pembiayaan untuk diperiksa kelengkapannya. Selanjutnya dimintakan persetujuan komite pembiayaan. Umumnya, komite pembiayaan terdiri dari AO/AM, manajer BMT dan pengurus koperasi BMT (KBMT). Persetujuan dilakukan secara berjenjang tergantung nilai usulan pembiayaan yang diajukan oleh calon peminjam.
  4. Pengikatan pembiayaan.Setelah usulan pembiayaan tersebut mendapat persetujuan dari komite pembiayaan, tahap selanjutnya adalah mempersiapkan pengikatan pembiayaan (akad pembiayaan). Sebelum dilakukan pengikatan, semua dokumen asli dan dokumen jaminan harus telah diterima.
  5. Pencairan dana.Setelah dilakukan pengikatan pembiayaan, proses pencairan dana dapat dilakukan, dengan terlebih dahulu dilakukan verifikasi tanda tangan calon peminjam.


 

Bentuk Baitul Maal wa Tamwil yang beroperasi di Indonesia baik pada tingkatan Perbankan Syariah maupun LKMS. Lembaga –lembaga Keuangan Syariah tersebut adalah Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), dan LKMS yang sering disebut dengan BMT.


 

  1. Bank Umum Syariah (BUS)
  1. Sejarah Bank Syariah di Indonesia

Bergulirnya ide pendirian Bank Syariah pada tahun 1988 pada saat adanya Kebijakan Oktober (Pakto) dimana pemerintah membuka liberalisasi industri perbankan. Kemudian didukung adanya Undang-undang Perbankan No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pasal 6 PP No. 72 tahun 1992 menjelaskan bahwa:

  1. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
  2. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.


 

Pada tahun 1998 muncullah UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. UU tersebut berisi bebarapa peruabahan yang memberikan peluang besar bagi pengembangan Perbankan Syariah.

Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip usaha Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 1 butir 13 UU 10 Tahun 1998 menjelaskan pengertian Prinsip Syariah.


 

  1. Fungsi dan Peran Bank Syariah

Fungsi dan peran Bank Syariah dijabarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution) adalah sebagai berikut: (Tim Perbankan Syariah)

  1. Manajer investasi, yaitu Bank Syariah dapat mengelola investasi dana nasabah.
  2. Investor, yaitu bank Syariah dapat menginvestasikan dana yang dimiliki maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya.
  3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, Bank Syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa-jasa layanan perbankan sebagaimana lazimnya.
  4. Pelaksana kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah. Bank Syariah juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun , mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana social lainnya.


 

  1. Karakteristik Bank Syariah

Bank Syariah memiliki karakteristik sebagai berikut (Warkum Sumitro, 2003):

  1. Beban biaya disepakati bersama pada waktu akad dan diwujudkan dalam bentuk nominal, yang besarnya tidak kaku serta fleksibel untuk dilakukan negosiasi dalam batas yang wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.
  2. Penggunaan persentasi dalam hal kewajiban untuk pembayaran selalu dihindari, karena persentasi bersifat melekat pada sisa hutang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir.
  3. Didalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, Bank Syariah tidak menerapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti ditetapkan dimuka, karena pada hakikatya yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah semata.
  4. Penyerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpan dianggap sebagai titipan (Al Wadiah) sedangkan bagi bank dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan Prinsip Syariah sehingga pada penyimpan tidak dijanjikan imbalan yang pasti.
  5. Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas untuk mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu, segenap jajaran pimpinan Bank Syariah harus menguasai dasar-dasar muamalah.
  6. Fungsi kelembagaan Bank Syariah selain menjambatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana diambil pemiliknya.


     

Tabel Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

No 

Perbedaan 

Bank Syariah 

Bank Konvensional 

1 

Falsafah 

Tidak berdasrkan bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakjelasan (gharar) 

Berdasarkan bunga 

2

Operasional 

  • Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika "diusahakan" terlebih dahulu
  • Penyaluran pada usaha yang halal dan menguntungkan 
  • Dana masyarakat berupa simpanan harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
  • Penyaluran pada sektor yang menguntungkan tanpa memperhitungkan aspek halal atau tidaknya sektor tersebut.

3 

Aspek Sosial 

Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam visi misi 

Tidak diketahu secara tegas 

4 

Organisasi  

Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah 

Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah 


 


 

  1. Organisasi Bank Umum Syariah

Bank Umum Syariah (BUS) memiliki karakteristik yang hamper sama dengan bank umum konvensional karena bentuk badan hokum yang digunakan sebagai besar adalah Perseroan Terbatas (PT).


 

Gambar Organisasi Bank Umum Syariah


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

  1. Ijin Perubahan Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah

Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tentang perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bsnk Umum berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 2 menjelaskan bahwa:

  1. Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya menjadi Bank yang melakukan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia.
  2. Rencana perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan dalam rencana kerja tahunan Bank.
  3. Pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam 2 tahap:
    1. Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan perubahan kegiatan usaha.
    2. Izin perubahan kegiatan usaha, yaitu izin untuk melakukan Kegiatan Usaha berdasarkan Prinsip Syariah setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.


 

  1. Unit Usaha Syariah (UUS)

Unit Usaha Syariah (UUS) merupakan pengembangan yang dilakukan oleh bank konvensional yang ingin membuka layanan produk dan jasa berdasarkan prinsip syariah

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 4/1/PBI/2002 tentang pembukaan Kantor Bank berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional Pasal 11 menyatakan bahwa:

  1. Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah waib membentuk Unit Usaha Syariah dikantor pusat Bank.
  2. Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang brfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:
    1. Mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
    2. Menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
    3. Menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
    4. Melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.
  3. Pada Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib ditempatkan Dewan Pengawas Syariah yang telah disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.

    Gambar Organisasi Unit Usaha Syariah


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


     


 

2.4.3    Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)

Bank Perkreditan Rakyat menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR.

  1. Tujuan Pendirian BPRS

    Tujuan yang dikehendaki dengan pendirian BPR Syariah adalah:

    1. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada dipedesaan.
    2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat Kecamatan, sehingga mengurangi arus urbanisasi.
    3. Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.


     

Untuk mencapai tujuan operasionalisasi BPR Syariah tersebut diperlukan strategi operasional sebagai berikut:

  1. BPRS tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi atau penelitian kepada usah-usaha berskala kecil yang perlu diberi tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
  2. BPRS memiliki jenis usaha yang perputaran uangnya bersifat jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
  3. BPRS mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitif produk yang akan diberikan dalam bentuk pembiayaan.


     

Untuk kelangsungan kegiatannya sehari-hari, BPR Syariah memiliki beberapa usaha diantaranya sebagai berikut:

  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposit berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakannya dengan itu.
  2. Memberikan kredit.
  3. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
  4. Menempatkan dananya dalam Sertifikat Bank Indonesia deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.


     

Kegiatan operasional BPR Syariah dipertegas dengan ketentuan Pasal 27 SK DIR. BI 32/36/1999, sebagai berikut:

  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
    1. Tabungan berdasarkan prinsip madiah atau mudharabah
    2. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
    3. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah.
  2. Melakukan transaksi penyaluran dana melalui:
    1. Transaksi jual beli menggunakan prinsip murabahah,, istishma, salam
    2. Transaksi sewa (beli) menggunakan prinsip ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik.
    3. Pembiayaan dengan pola bagi hasil menggunakan prinsip musyarakah dan mudharabah.
    4. Layanan jasa lain yang berdasarkan prinsip: Rahn dan Qardh
  3. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syariah sepannjang disetujui Dewan Syariah Nasional.

    

    Ketentuan UU perbankan yang memungkinkan BPRS untuk tidak menerima dana simpanan dalam bentuk giro, BPRS juga dilarang:

  1. Melakukan kegiatan usaha valuta asing
  2. Melakukan penyertaan modal
  3. Melakukan usaha perasuransian


 

  1. Manajemen dan Organisasi BPRS

Menurut Ketentuan Pasal 19 DIR BI 32/36/1999, kepengurusan BPR Syariah terdiri dari dewan Komisaris dan Direksi.

Anggota direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan:

  1. Anggota direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua, termasuk mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar, suami atau istri.
  2. Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua , anak, dan suami atau istri.

Untuk menjaga konsistensi dan kelangsungan usaha BPR Syariah, ditentukan bahwa:

  1. BPR Syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
  2. BPR Syariah tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan usaha menjadi BPR Konvensional.
  3. BPR Syariah yang semula memiliki izin usahanya sebagai BPR konvensional dan telah memperoleh izi perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan prinsip Syariah, tidak diperkenankan untuk mengubah status menjadi BPR konvensional.


 

2.4.4    Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS)

    Kegiatan LKMS akan berpusat disentra-sentra bisnis masyarakat level mikro dan menengah sepertipasar tradisional, wilayah usaha kecildan menengah, lingkungan masyarakat pedesaan dan perkotaan. LKMS memiliki kemiripan dengan konsep koperasi. Oleh karena itu dengan berjalannya waktu pemerintahan Indonesia mulai mengarahkan LKMS dengan bentuk koperasi, beberapa alasan yang melatarbelakangi hal tersebut:

  1. sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, satu-satunya lembaga keuangan di Indonesia yang diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat dalm bentuk simpanan hanyalah bank. Oleh karena itu LKMS yang berbadan hukum yayasan tidak dibenarkan untuk menghimpunan dana dari masyarakat.
  2. Koperasi memiliki kewenangan untuk melaksanakan usaha simpan pinjam walaupun hanya sebatas melayani anggotanya saja. Oleh karena itu LKMS sangat diarahkan dengan badan hukum koperasi sehingga bias meningkatkan peran masyarakat untuk turut serta mengembangkan perekonomian nasional.
  3. Koperasi memberikan kesempatan kepada semua anggota untuk berperan aktif mengembangkan kegiatan koperasi sehingga kinerja koperasi sangat ditentukan juga dengan aktivitas anggota koperasi. LKMS dengan bentuk badan hukum koperasi menjadi lebih kuat posisinya dimasyarakat karena didukung dengan partisipasi anggota masyarakat sehingga memudahkan juga dari segi pengawasan.
  4. Kopersai mereduksi adanya kapitalisme yang biasanya identik dengan permodalan besar yang berusaha menguasai pasar. Koperasi memberi hak yang sama kepada semua anggota yang tidak didasarkan atas kontribusi modal. Hal ini akan mengurangi keinginan kaum kapitalis untuk menguasai LKMS karena komposisi suara berdasarkan jumlah anggota tanpa memmperhatikan komposisi modal layaknya bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT).


 

Pada tahun 2004, Menteri Negara Koperasi dan usaha kecil dan menengah Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 91/Kep/M.UKM/IX/2004 tentang petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah.

SK Menteri Koperasi dan UKM tersebut memberikan penguatan hukum terhadap keberadaan LKMS dengan bentuk kegiatan koperasi jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah. Menurut ketentuan ini terdapat dua bentuk koperasi jasa keuangan yang berdasarkan prinsip syariah,yaitu:

  1. Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak dibidang pembiayaan, investasi, dan simpanan sesuai dengan pola bagi hasil (syariah).
  2. Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) adalah unit koperasi yang bergerak dibidang usaha pembiayaan, investasi, dan simpanan dengan pola bagi hasil (syariah) sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang bersangkutan.

        

  3. Mendirikan Baitul Ma wa Tamwil
    1. Modal pendirian BMT

BMT dapat didirikan dengan modal awal sebesar Rp. 20.000.0000 atau lebih. Namun demikian, jika terdapat kesulitan dalam mengumpulkan saldo awal, dapat dimulai dengan modal Rp. 10.000.000,- bahkan Rp.5.000.000,-. Modalawal ini berasal dari satu atau beberapa tokoh masyarakat setmpat, kas mesjid atau BAZIZ setempat. Namun sejak awal anggota pendiri BMT harus terdiri antara 20 sampai 44 orang jumlah batasan 20 sampai 44 anggota pendiri, ini diperlukan agar BMTmenjadi milik masyarak setempat.


 

b.    Badan Hukum BMT

BMT dapat didirikan dal bentuk kelompok swadaya masyrakat atau koperasi.

1.    KSM adalah kelompok swadaya masyarakat dengan mendapat surat keterangan operasional dan PINBUK ( Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil)

2.     KOperasi serba usaha atau koperasi syariah

3    Koperasi simpan pinjam syariah (KSP-S)


 

c. Tahap pendirian BMT

Adapun tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam pendirian BMT adalah sebagai berikut:

  1. Pemakarsa membentuk panitia penyiapan pendirian BMT di lokasi tertentu,seperti masjid, pesantren, desa miskin, kelurahan, kecamatan atau lainnya.
  2. P3B mencari modal awal atau modal perangsang sebesar Rp. 5.000.000,- sampai Rp. 10.000.000,- atau lebih besar mencapai Rp. 20.000.000,- untuk segera memulai langkah operasional. Modal awal ini dapat berasal dari perorangan, Lembaga, yayasan, BAZIS, pemda atau sumber-sumber lainnya.
  3. Atau langsung mencari pemodal-pemodal pendiri dari sekitar 20 sampai 44 orang di kawasan itu untuk mendapatkan dana urunan hingga mencapai jumlah Rp. 20.000.000,- atau minimal Rp. 5.000.000,- .
  4. Jika calon pemodal telah ada maka dipilih pengurus yang ramping (3 sampai 5 orang) yang akan mewakili pendiri dalam mengerahkan kebijakan BMT.
  5. Melatih 3 calon pengelola (minimal D3 dan lebih baik S1) dengan menghubungi Pusdiklat PINBUK Propinsi atau Kab/ Kota.
  6. Melaksanakan persiapan-persiapan sarana perkantoran dan formulir yang diperlukan.
  7. Menjalankan bisnis operasi BMT sercara professional dan sehat.


 

  1. Kendala dan strategi pengembangan BMT

a.     Kendala BMT

Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala, walaupun tidak berlaku sepenuh kendala ini di suaru BMT. Kendala tersebut sebagai berikut:

  1. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bias dipenuhi oleh BMT.
  2. Adanya rentenir yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding BMT.
  3. Nasabah bermasalah
  4. Adanya persaingan tidak Islami antar BMT, karena persepsi bahwa BMT lain adalah lawan bukan partner.
  5. Pengarahan pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominat sehingga sedikit mengikis rasa idealis.
  6. Ketimpangan fungsi utama BMT antara baitul maal dan baituttamwil.
  7. Kualitas SDM yang kurang.


 

b.    Srategi Pengembangan BMT

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menghadapi problematika ekonomi yang ada di BMT saat ini, diantaranya:

1.    Optimalisasi SDM yang ada di BMT.

2.    Strategi pemasaran yang lebih meluas

3.    Inovasi produk sesuai dengan kebutuhan masyarakat

4.    Pengembangan aspek paradigmatic

5.    Fungsi partner BMT perlu digalakkan, bukannya menjadi lawan

6.    Evaluasi bersama BMT.